Stasiun Yang Kusebut Malapetaka

Stasiun Yang Kusebut  Malapetaka


Stasiun kereta yang kusebut malapetaka

Derap kaki yang berlalu lalang tanpa nostalgia

Seolah yang kemari untuk kemudian berlalu

Menjauh dan dipukul merdeka dari masalalu


Tuan, tidaklah mereka. Cukup kamu

Tidaklah pengunjung lainnya, melainkan kamu

Lunglai kalbuku bagai perahu yang kehilangan dayungnya

Merintih dan mengais hanyalah kututup palung


Aku melihatmu tuan, dalam baris kekekaran

Aku melihatmu bak induk ayam yang keteteran

Netra yang peluh dan pilu membasahi sekujur daksa

Jemarimu menangkap jemariku sambil diramu hiruk nestapa


Di stasiun itu kau kecup selamat tinggal

Bunga-bunganya telah rampal

Milik puan yang bergaun pink kemerahan

Tidaklah pilon sanggup paham pada perpisahan yang mengejikan


Tuan, adakah kalbumu menghendaki jangan dulu melangkah?

Berbilanglah pada ilalang bahwa nanti dulu mencumbunya

Sebab aku  masih merindu kopi senja bersamamu

Menggauli terpaan angin petang sambil menikmati kudapan putu


Di stasiun itu, ingatlah bahwa bukan dengan perpisahan

Ingatlah bahwa luka itu tempat untuk mendewasakan 

Mungkin bersisa satu, Buku yang berlatar warna perak kan bernyanyi

Di sepanjang lelap tidurku ia membisiki 


Hanya bersisa itu sebagai tajuk wacana

Hanya itu sebagai nostalgia

Dengan itu tiada hampa romantisme dahulu

Tiada sendu netraku yang berpayung lugu


Tuan, baik-baik perjalananmu dan jangan meraju

Setoples kue nastar warna kuning yang tidak basah ini untukmu

Tidak perlu bersusah payah menggali awan lagi untukku

Sebab sudah tanpamu aku kembali biru, sendu

Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.