https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
Terlalu Bawa Perasaan
Oleh Arlison Sembiring
Sabtu malam aku berniat untuk beribadah di Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan tak ada niat untuk berbadah di GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) khusus kali itu. Kebetulan Daslim gereja disitu juga (Sekarang Daslim harus kupanggil dengan sebutan Abang). Kata beliau kali ini mengunakan bahasa indonesia dalam sistem tata ibadahnya. Karena ibadah di HKBP selang seling bahasanya, misalnya minggu ini memakai bahasa Batak Toba, maka minggu depannya menggunakan bahasa Indonesia. Aku putuskan untuk ibadah masuk jam sepuluh Karena ada kegiatan lari pagi dahulu di Gor Hj Agus Salim Padang.
Menjelang aku pergi dari indekos ku, ada saja hambatan yang aku harus hadapi yang membuatku tidak sabaran dan sempat mengurungkan niatku untuk ibadah minggu ini. Yang chat aku dari pagi tidak dibalas Daslim lah, padahal aku butuh sekali informasi waktu masuk ibadah dan alamat gereja itu dimana, supaya aku dapat memperkirakan jam berapa aku harus pergi dan bersiap siap. Yang pulsa internetku habis lah pagi itu, hal itu membuatku bingung harus apa. Yang Mama aku telfonin tidak ada sinyal, pulsa tak bisa ditransfer pula.
Waktu sudah jam sembilan lewat dan aku bergegas untuk mandi memakai Rok kesana karena aku tak tau aturan apa yang ada di HKBP (baru pertama kali ibadah disana sendiri). Setelah aku siap, aku langsung ke warung terdekat untuk beli pulsa agar bisa menghubungi Daslim. Karena alamat dan jam masuk ibadah masih belum kudapatkan. Setelah pulsa kubeli, aku bayar pulsa tadi, ternyata tidak ada kembalian dari uang yang aku sodorkan pada pemilik warung. Ibu pemilik warung memintaku menunggu sembari ia menukarkan pecahan tersebut, padahal sudah hampir jam setegah sepuluh.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan ponselku setelah aku mengisi pulsa itu, tiba tiba aplikasi ojek online aku malah hilang. Geram rasanya. Aku berbisik dalam hati “Oh Tuhan,, mengapa pergi ke Gereja pertama kali disini terasa kayak diuji sekali niatku ??”. terpaksa aku harus mengunduh dahulu aplikasi nya. Yang membuatu tambah kesal ialah lama pegunduhan aplikasi, aku harus mengosongkan memori internal pula supaya aplikasinya muat di ponselku. Aku hapus aplikasi belajar. Puji Tuhan setelah itu Daslim langsung memberi alamat gerejanya dan memintaku untuk segera datang karena ibadah baru dimulai. Aku panik tidak tau harus gimana. Tak tau harus tetap gereja atau ibadah daring saja karena sudah terlanjur terlambat. Dihatiku aku bertekad “Ah, mungkin Tuhan mengujiku dengan cara ini, Aku harus tetap gereja biar Tuhan melihat kesungguhan hatiku”.
Setelah itu, aku lihat ada mobil yang menghampiriku. Pengemudi bertanya padaku “ke HKBP dek?”. Hah? Hatiku sungguh heran kenapa beliau tau. Reflek aku melihat layar ponselku dan kubuka aplikasi ojek online. Ternyata, yang kupesan kendaraan Mobil, bukan sepeda motor. Tentu perjalanan tambah lama dibanding dengan sepeda motor, ditambah lagi aku hanya sendiri dan terasa boros ongkos. Jujur, aku mendongkol pagi itu. Aku segera naik mobil itu dan mengambil posisi dibelakang supir. Pak supir malah mengira aku ini seorang polwan karena rambutku dan postur badanku yang meyakinkan dan aku memastikan bahwa tujuanku memang benar benar ke Gereja supaya aku tidak salah alamat karena kecerobohanku.
Dimobil, aku berharap nantinya digereja bisa duduk disamping Daslim. Aku anak asing disana, aku pastinya canggung. Harapanku bila duduk dengannya, aku merasa lebih percaya diri. Lalu, Daslim bilang dari chat “ jam setengah sepuluh harus udah sampe”. Spontan aku langsung menghela nafas panjang panjang agar aku tetap tenang. Mau bagaimanapn aku tetap terlambat karena informasi yang lambat kudapatkan dan aku juga tidak mengabarinnya dari malam minggu itu. Aku juga mengakui bahwa ini ialah kesalahanku.
Pak supir aku suruh cepat - cepat, ku minta untuk ngebut. Padahal aku tau sendiri kalau kota Padang juga ramai pada minggu pagi. Di gerbang gereja segera kubayar ongkos dengan uang pas sehingga tak lama lama lagi aku menunggu kembalian uangnya. Aku sampai di Gereja ketika Pengakuan Iman Rasuli. Menyadari hal itu, mataku dengan cepat melirik dimana Daslim berada. Tapi tak kutemukan dia. Akhirnya aku segera mencari dimana saja bangku kosong. Aku merasa bersalah pada Tuhan. Aku kira, aku tak bisa mendengar Khotbah Minggu karena sudah masuk ke Pengakuan Iman Rasuli. Ehh,, Puji Tuhan ternyata belum. Syukurlahhhh. Karena baru pertama kali dan masih canggung, aku ikuti saja alur ibadahnya. Orang berdiri, aku berdiri. Orang lipat tangan berdoa, aku juga melakukan hal demikian.
Kala persembahan pertama, aku fokus saja ke depan mimbar dan tak melirik sana lirik sini. Lanjut ke persembahan kedua kalinya, TAPP!!!, Sekejab aku melihat Daslim. Ternyata dia memakai baju Siswa Seba yang dilampisi jaket hitamnya. Huuuuhhhh, sontak aku ambil ponselku dan ingin memvidiokannya. Namun, nanti aku takut terkesan alay dan akhirnya tak jadi aku dokumentasikan. Mataku tak lepas dari dia menjelang dia duduk dibangkunya dan dia tak ada menoleh sana menoleh sini, pandangannya lurus saja sehingga aku merasa ini moment dramatis. Mataku berkaca – kaca, membendung air mata. Ada rasa bangga, takjub dan haru juga melihatnya maju kedepan dengan seragam Seba itu. Secara visual, ia secara tidak langsung memberiku motivasi biar sama kayak dia dan memakai baju kebanggaan itu sama sama. Aku ingin sekali mengejarnya dan untungnya aku masih sadar disituasi begini harus pandai bersikap. Aku menyadari jantungku berdegub kencang dan tetap menahan ekspresi wajah cemburuku.
Terkenang olehku masa masa Tes Rekrutmen Proaktif Bintara Polri pertamaku dulu. Pada tahap wawancara Mental Kepribadianlah yang paling berkesan bagiku tentang Daslim, kami duduk dilantai berdiskusi tentang materi yang ditanyakan dengan posisi duduk bersila di depan pintu ruangan wawancara. Hanya Daslim yang berani nanya kepadaku apa saja yang ditanyakan pewawancara padaku karena aku telah selesai diwawancara. Sebenarnya banyak kisah yang terkenang bersamanya kala ibadah itu. Bila aku lulus Pantukhir akhir, kami akan seangkatan dan sama sama memakai baju Siswa Seba itu. Namun, yaa belum takdir Tuhan dan aku sadar kekuranganku dahulu dimana.
Semenjak persembahan kedua, aku sama sekali tidak fokus ibadah. Otak dan hatiku cemburu pada Abang yang semarga denganku sendiri. Aku juga bereuforia agar bisa seperti Daslim nantinya dan sedang kuperjuangkan untuk memakai baju Seba itu juga. Lalu ibadah selesai dan aku berdoa sebentar. Yang bikin aku mau nangis itu ialah sikap cuek dan dinginnya ketika diluar gereja. Aku sudah memanggilnya dari belakang untuk mau bilang terimakasih. Tapi dia bersikap seakan akan tak mau diganggu dan seolah olah sibuk sekali sehingga tak menghiraukanku. Apakah mungkin ia melupakan aku?, Apakah dia tidak mau bertemu denganku?.
Jujur, gundah gulana rasanya, semua rasa bercampur disana. Disitu hatiku juga ter iba, aku tak bisa foto dengannya. Dia buru – buru dan dia bilang dia mau pulang deluan dan langsung mengajak Pak Tua (Bapaknya) untuk segera beranjak dari situ. Ya udah... yang penting lengan baju Seba sebelah kirinya telah kupegang. Hihihi. Ia dibonceng pak tua dan meninggalkanku sendiri di teras gereja tanpa menitipkan setitik senyum perpisahan. Dalam hati aku berharap “Semoga nular, semoga aku Lulus Terpilih pada kesempatan tes kali ini, kami bisa seprofesi nantinya dan dia bisa jadi abang andalanku nantinya, abang terbaik dan menjadi pemacu semangat karirku nantinya”. Aku agak takut sih kalau dia nganggap aku sok kenal sok dekat dengannya. Tapi aku tak bohong, hanya dia temanku disana kala itu. Hanya dia yang bisa kuharapkan untuk memberi beberapa informasi kala itu. Miris bukan? Harus berhadapan dengannya yang dingin sementara aku terlalu mendekat padanya.
Aku pulang ke indekosku dengan kendaraan roda dua. Diperjalanan dengan ojek online, aku tak ada bicara sepatah katapun. Kebetulan bapak ojeknya juga diam dan tak mengajakku berbicara, mungkin karena beliau melihatku dari kaca spion bahwa dari wajahku tergambar suasana hatiku sedang kacau. Beberapa meter beranjak dari gereja, aku menangis deras tanpa besuara. Pipiku dihujani oleh air mata yang tak terbendung lagi. Tak dapat lagi kutahan hingga masker medis biru aku basah dibuatnya. Masker itu bisa diperas. Pak ojeknya memilih jalan ke Tepi Pantai Purus Padang (rute terjauh ke indekosku) yang membuatku bisa lebih puas lagi menangis sambil pipiku dicium sepoinya angin. Sepertinya pak ojek itu diarahkan Tuhan untuk memilih jalan tepi pantai agar suara tangisku tak terdengar karena teredam oleh berisiknya ombak pantai. Ditambah lagi dengan suasana alan lumayan sepi kaena penerapan PPKM saat pandemi Covid 19 ini. Aku tak tahu jaket kuning pak ojek itu basah atau tidak karena tangisanku, yang jelas ketika aku bayar ongkos, aku hanya menunduk tak berani mendongakkan wajahku yang sembab dan mataku juga memerah.
Aku langsung lari membuka pintu, lalu aku bantingkan badanku ke kasur, dan aku menangis sejadi jadinya sampai tertidur. Aku lemas dan yang terbayang hanya sikap Daslim, Baju Seba itu, perjuangan beberapa kali tes abdi negara tapi belum rejeki Pantukhir Akhir melulu, perjuangan ke gereja minggu pertama ke HKBP dan orang tuaku dikampung yang mempercayakan aku tes abdi negara sekali lagi. Sorenya aku terbangun dan aku masih merasa patah asa. Aku makan ayam kecap yang udah hampir berjamur, karena aku belum berani keluar indekos untuk beli makanan karena mataku masih merah.
Kuaktifkan data selulerku dan melihat aplikasi WhatsApp, aku kembali menangis lagi ketika melihat menu chat aku sama Daslim. Sampai magrib aku masih terisak-isak dan untungnya kakak seindekos tiada yang mendegar isak ku. Karena aku menangis diam diam dan berteriak tanpa bersuara. Terbayangkan??. Aku tak tahu harus bagaimana memotivasi diriku kembali, badan aku belum bisa kurus-kurus, fisik belum kuat, otak belum sepenuhnya di asah, mau cepat-cepat pula lolos. Orang sedang bercucuran keringat latihan, aku malah bercucuran air mata disini.
Aku berusaha bangkit dan mewujudkan angan aku agar bisa seperti Daslim. Aku ga bisa hanya menangis saja, tapi juga harus bangkit dari rasa yang mematahkan ini. Mungkin aku yang terlalu ambil hati karena sikapnya padaku tak seperti yang kuharapkan. Ternyata benar,, yang membuat sakit hati itu ialah ekspektasiku sendiri. Aku yang terlalu menganggap semua orang didunia ini bisa dijadikan panutan. Ternyata tidak. Bila dia pergi dan mungkin tak kembali baik lagi, aku yang hancur dan tak karuan begini menyikapi harapan sendiri.
Malamnya senyumku datang dari Alfi yang membuatku ambisi ke IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Alfi tanpa langsung mengatakan “semua ada masanya, ayolah sini”. Dia menyuruh aku tetap semangat dan harus bisa karena aku sedang persiapan Tes Bintara PTU dan sedang mempersiapkan diri juga untuk tes SPCP (Seleksi Penerimaan Calon Praja). Puji Tuhan suasana hatiku membaik dan aku mulai untuk membahas bahas soal akademik dan psikologi lagi. Aku takut lagi untuk gagal pada tes ke empat ini. Beberapa menit setelah bahas soal, aku mandi dan tertidur lagi karena mataku cukup berat dan aku capek menangis. Lalu aku berdoa pada Sang Pemilik Takdir, Terimakasih hari ini engkau menghadirkan Daslim untuk memacu semangatku agar bisa sepertinya dan Terimakasih Engkau telah menjadikan Alfi membanngkitkanku dari kepedihan kali ini.
Sebenarnya aku cemburu padanya. Tapi bukan rejeki aku ya sebenarnya untuk apa aku tangisi dia?. Aku selalu mengharapkan Mujizat Tuhan nyata bagiku dan disertai dalam setiap perjuangan tes, restu keluarga, dipermudah, Doa dan Usaha yang lebih.
Semangat yang sedang berjuang sendiri!
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.