https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
Shape of Love
Dinar Anne
""Santi Maharani Rasyidi, will you marry me?""
Kalimat itu kembali bergema di telinga Santi, setelah sekian lama kejadian itu menyimpan kenangan yang tak akan pernah habis terkikis waktu. Tahun ini, pernikahannya memasuki tahun kelima. Itu artinya ia ia sudah hampir lima tahun mendampingi Dimas—laki-laki sekaligus ayah dari anak-anaknya, tiga balita menggemaskan yang menjadi alasannya bertahan pada hidup.
Cinta begitu indah. Setidaknya untuk saat itu. Saat di mana ia dan Dimas tak lagi memedulikan orang lain. Hanya mereka berdua yang tengah dimabuk cinta, sampai akhirnya Dimas melamar Santi di malam farewell party perpisahan sekolah SMA lima tahun lalu. Setelah satu tahun lamanya mereka menjalin hubungan.
Santi tidak pernah mengira bahwa ia akan menikah di usia muda. Ia juga tak pernah mengira orang tuanya akan menurunkan restu begitu mudah, mengalihkan tanggung jawab pada laki-laki yang saat itu hanya mengantongi ijazah SMA.
Namun terlepas dari semua hal yang ada, hal itu menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Santi, karena Dimas adalah cinta pertamanya, laki-laki sempurna di matanya. Dimas adalah laki-laki pemberani dan sepenuhnya memenuhi janji dalam keluarga, bertanggung jawab dan menjadi imam baginya dalam keluarga. Meski di awal pernikahan, tak sedikit ocehan-ocehan nyaring yang menyangsikan langkah Santi dan Dimas memasuki babak baru dalam hidup. Pernikahan di usia belia.
***
“Kita pasti bisa lewati semua ini, sayang, Aa akan berjuang apapun caranya, supaya anak-anak kita tetep bisa sama kita.” Dimas menggenggam erat tangan Santi.
“Tapi, Teh Nanda sama A Luki tulus, A, mereka janji bakal rawat Aini dengan baik bahkan bakal nanggung semua biaya pendidikannya sampe kuliah,” balas Santi lirih.
Dimas mengusap wajahnya kasar, lalu beralih menatap wajah sang istri sambil mencari sebuah keyakinan di matanya.
“Gak ada yang lebih tulus dari kita, San!” sergah Dimas, matanya menatap Santi tajam. “Kita orang tuanya dan kamu ibunya, Aa gak nyangka kamu setega itu,” sambung Dimas.
Dimas cukup putus asa menyikapi kondisi Santi yang bersikeras dengan ide gilanya, yaitu menyerahkan hak asuh putrinya pada sahabat sekaligus saudaranya.
“Karena aku ibunya, A. Aku mau yang terbaik buat Aini, dan cuma ini caranya,” timpal Santi, dengan isak tangis yang pedih.
Hal ini bukan keputusan mudah baginya. Setiap malam, setiap hari, dan setiap saat, setelah usul dari Nanda dan Luki—suami Nanda itu ia dengar, Santi tak pernah bisa melewati hari tanpa kegelisahan. Jika ia bisa meminta, ia ingin waktu berhenti hari itu juga, karena ia merasa hidupnya terlalu berat. .
Santi amat sangat sedih, karena tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa dengan situasi saat ini. Bahkan mungkin kesedihannya melebihi Dimas. Karena bagaimanapun, Aini ataupun si kembar adalah separuh hidupnya. Santi ingin anak-anaknya tetap hidup dengan baik tanpa kekurangan suatu apa pun.
Saat ini, ia butuh bantuan Nanda dan Luki untuk menyelamatkan anak-anaknya. Luki dan Nanda bisa dikategorikan sebagai pasangan yang sempurna dari segala aspek, sebelum mereka kehilangan buah hati karena takdir Ilahi.
“Pasti ada cara lain, San, gak gini caranya.” Dimas meletakkan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya.
Santi menurunkan tubuh ringkihnya, memeluk lutut sang suami, setelah menyeka air yang terus mengalir di pipi. “Buat sekarang ini caranya, A. Aku yakin ini jawaban dari doa-doa kita, buat keluarga kita,” ucap Santi parau.
Dimas menurunkan tangannya, kini ia merangkum wajah istrinya yang nampak letih dan putus asa, ditatapnya wajah itu dalam-dalam sembari mencari sebuah kemantapan di sana.
Bagi Dimas, keputusan yang dipilih istrinya adalah hal tergila yang pernah ia dengar. Bagaimana bisa Santi memutuskan hal seperti itu padahal ia hampir mati ketika berusaha melahirkan putrinya.
***
Suasana di ruangan belakang yang menghadap langsung ke kolam renang itu tampak sunyi, meski tiga orang dengan problematika yang sama-sama berat tengah berkumpul di satu meja. kepulan asap dari teh dalam cangkir masih mulai berkurang seiring waktu yang terus melaju.
“Saya mencintai Nanda, dan saya akan lakukan apapun agar ia bisa kembali bahagia, Dimas, Santi.” Luki mulai membuka suara, ia berkata dengan tatapan teduhnya. Santi bisa melihat tatapan lawan bicaranya itu tulus.
“Atas dasar apa A Luki minta hal itu sama kita? Seolah-olah Aini itu barang yang mudah dipindah tangankan?” tanya Dimas menuntut jawaban.
Luki tersenyum tipis. Ia merapatkan kedua tangannya di atas meja makan. “Nanda bilang, Aini anak yang cantik dan pintar, persis orang tuanya, dia jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Aini bulan lalu di rumah sakit.”
“Tapi, tiba-tiba minta kita menyerahkan hak asuh dengan imbalan itu rasanya seperti kalian memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” ucap Dimas jujur.
Dimas merasa demikian. Luki dan Nanda seolah sedang menekan Dimas untuk menukar buah hatinya dengan iming-iming bantuan untuk menyelamatkan buah hati yang lain—si kembar yang kini tak berdaya, dan membutuhkan pertolongan serta perhatian lebih.
“Kamu boleh berpikiran begitu, Dim. Tapi Demi Allah, saya tulus. Saya mau membahagiakan istri saya, sama seperti kamu akan lakukan apa saja untuk kebahagiaan istri dan anak kamu,” kata Luki pelan. Ia melirik Nanda sekilas. “Histerektomi. Kalian bisa bayangkan jika kondisi itu yang menimpa kalian?”
Dimas menghela napas berat. Ia benar-benar tidak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi dalam hidupnya.
Santi dan Dimas saling melempar tatap. Lalu mereka berdua mengikuti tatapan Luki yang mengamati Nanda yang tengah bermain di sudut ruangan dengan Aini. Air mukanya berbinar, seperti segala jenis cahaya menyorotinya dalam satu waktu.
Santi kembali teringat akan curahan hati Nanda beberapa saat lalu. Sebelum Nanda mengutarakan isi hatinya untuk mengasuh Aini secara resmi.
“Aku sempet marah sama Allah, San. Karena Dia ngasih aku ujian yang berat kayak gini. Aku hampir bunuh diri, minum semua obat-obatan pasca lahiran, termasuk antidepresan yang dokter kasih setelah operasi itu, tapi ternyata aku masih selamat. Dari sana, aku sadar kalo Allah masih kasih aku kesempatan buat hidup, buat memperbaiki diri, sampe akhirnya kita ketemu lagi, setelah sekian lama.”
“Aku jatuh cinta lagi, San,”
“Sama Aini, Anak kamu. Aku mau ngasuh dia secara resmi.”
Saat itu anggapannya Nanda sedang bercanda, Santi hanya tertawa kecil, pun dengan Nanda. Hingga Santi mendapati dirinya tak lagi melihat tawa di bibir Nanda, yang ia lihat justru getaran kecil di bibirnya, lalu bendungan air matanya mulai jebol, hingga pipinya basah dan bahunya agak bergetar. Nanda terisak-isak. Santi melihat kepedihan jelas terlihat dari sahabat sekaligus saudaranya itu.
“Kita bisa rawat Aini bareng-bareng. Tapi izinkan saya dan Nanda yang memiliki hak asuh resmi buat Aini,” tutur Luki sekali lagi.
“A Luki, aku juga seorang Ibu, sama seperti Teh Nanda, aku paham perasaannya. Tapi ….” Tiba-tiba dadanya sesak, ia tak bisa membayangkan jika putrinya benar-benar berpindah tangan. Santi mengangkat kedua tangannya menutupi wajah. Isakan itu kembali tak tertahankan. Dimas sigap merengkuhnya.
Ia yang sejak tadi lebih banyak menutup mulut, karena meresapi situasi yang tengah terjadi, kini mencoba mengeluarkan isi hati yang selama ini hanya ia simpan sendiri.
Sunyi. Senyap. Semua tak bersuara. Hanya gelak tawa bercampur celoteh kecil bocah tiga tahun mengisi spasi di antara kepedihan dua pasang orang tua yang tengah dilanda kebimbangan.
“Semua keputusan ada sama kalian, saya gak berhak memaksa,” ucap Luki pelan.
***
Santi terdiam mengamati mimik polos putri sulungnya—Aini Faida Azmi, balita mungil berusia tiga tahun yang terlelap damai di atas kasur, bola matanya mengatup rapat, napasnya berembus teratur. Sekali lagi, Santi menyeka air di pipi dan hidungnya.
Hatinya bagai diiris sembilu, sakit sekali. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini, berkali lipat dibandingkan saat ia berjuang mengeluarkan putrinya dari rahim, setelah sembilan bulan berjuang bersama, hingga bertaruh nyawa.
Saat ini, hidupnya porak poranda tak beraturan, apalagi setelah usaha konveksi yang dirintis Dimas dan keluarga hancur berantakan, menyisakan utang yang bertebaran, rumah hilang dan semuanya tak terselamatkan. Harta yang ia miliki hanya ketiga putri kecilnya.
“Sayang ...,” panggil Dimas.
Santi menoleh pada ke arah Dimas. “Makan dulu, ya, belakangan ini makan kamu gak teratur banget.”
Kepala Santi menggeleng lemah. “Aku mana bisa makan teratur, A, di saat kayak gini, apalagi si kembar lagi berjuang buat keluar dari lingkaran kematian.” Tangannya membelai puncak kepala Aini.
Terkadang memang benar, jika seseorang didewasakan bukan oleh usia, tapi oleh keadaan. Usianya bahkan belum genap seperempat abad, di saat teman-teman sebayanya tengah bergelut dengan tugas kuliah, ia dan Santi justru harus menghadapi ujian bertubi-tubi. Hingga kuliah pun harus terpaksa cuti.
Tahun kelima pernikahan ini, terasa membahagiakan serta memilukan baginya dan Dimas. Mereka diberi amanah baru, meski dalam kondisi belum saatnya mereka hadir di dunia, setelah di tahun pertama pernikahan Aini—putri pertamanya lahir sempurna, dengan rasa sukacita dari segenap keluarga mereka berdua.
Allah memang maha adil, memberikan segalanya dengan berpasangan. Seperti halnya amanah yang diiringi dengan musibah. Bisnis konveksi keluarga Dimas bangkrut karena orang yang tidak bertanggungjawab, menyebabkan ayahnya terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal, disusul dengan ibunya yang meninggal akibat kecelakaan. Sementara orangtua Santi telah renta dan sakit-sakitan.
***
“Keputusan ini … aku yakin akan menjadi jalan terbaik, ini bentuk cintaku untuk anak-anakku. Urusan pertanggungjawaban kelak, biarlah nanti aku yang bicara dihadapan-Nya. Ridailah keputusan ini, ya Allah. Aku hanya ingin anak-anakku selamat dan hidup dengan layak,” lirih Santi dalam hati, meski ia berusaha terlihat tegar, tetapi hatinya begitu hancur dan tak henti merintih.
Di depan ruang NICU, Dimas berdiri di sebelah Santi yang tengah tersedu, tangannya membekap mulut dan bola matanya menatap punggung Nanda dan Luki yang perlahan menjauh. Lalu, menghilang di ujung lorong.
“Mama ... Mama ....” Teriakan Aini mulai menjauh.
Tulang belulang penyangga tubuhnya bagaikan ambruk seketika itu. Santi terduduk lemas di lantai, sakit di hatinya kembali menyergap. Pengap ia rasakan, napasnya tersengal, melepas putri sulungnya bersama orang lain. Dimas ikut terduduk merengkuh tubuh istrinya yang semakin mengerut, lebih kecil dari sebelumnya.
Santi mengutuk dirinya sendiri. Ia egois karena telah jadi ibu terburuk di dunia ini. Ia ibu yang tak bertanggungjawab dan tak berdaya.
“Ya Allah, hukumlah aku, jangan anak-anakku, biarkan mereka bahagia,” jeritnya dalam hati. Tangannya memukul dadanya berkali-kali.
Tanpa Santi tahu, Dimaslah yang merasa paling berdosa dan hancur. Karena tak berdaya dan tak bisa melindungi amanah yang Allah titipkan padanya. Dimas memang tidak menangis meraung-raung, tetapi batinnya hancur lebur. Ia berjanji dalam hati, suatu saat akan membuat keluarganya kembali utuh, berkumpul dengan penuh kebahagiaan.
***
"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.