https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
Pulang
Oleh : Heni Riyanti
“Saya akan tetap membersamai Anda, lebih dari sekedar rambut yang memutih, gigi yang berkurang, tulang yang tak sekuat dahulu atau bahkan keriput di banyak raut muka Anda. Ini janji saya.”
Tutur seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih. Di sampingnya ada seorang perempuan yang usianya tak beda jauh dengannya. Direngkuhnya tubuh sang perempuan ke dalam dekapannya. Tampak dua cangkir kopi tandas sore itu, bersama senja yang perlahan hilang dan sebuah lagu yang terkenal pada masanya.
“Ini lagu favoritku, kau sengaja ya memperdengarkannya?” ucap sang perempuan dengan lembut.
“Ya memangnya apa yang tidak ku tau tentangmu, sayang. Kau mengartikannya berbeda dari yang lain. Jujur saja aku terkesan.” Jawab si laki-laki muda itu sembari mengenang pertama kali pertemuan mereka terjadi.
“Kau tau bang, kita adalah sebuah pertemuan yang akhirnya juga melahirkan perpisahan,” tutur sang perempuan.
“Mengapa begitu, kita sudah mengikat janji sehidup semati. Lalu, apalagi yang mampu memisahkan kita?”
“Kematian, sayang. Ada kematian yang belum tentu kita lalui bersama. Aku bisa saja pergi lebih dulu atau justru sebaliknya.” Ucap sang perempuan dengan nada sendu. Ada buliran air mata yang menghiasi wajahnya.
“Jika salah satu dari kita pergi lebih dulu maka, aku atau kamu pun akan menyusul. Ini hanya soal waktu, sayang. Nanti jika aku lebih dulu pergi, ingat ini baik-baik aku pasti akan segera membawamu bersamaku. Dan di sana kita akan menjadi abadi.”
“Bucin kau bang! Aku lagi galau ini. Enggak bercanda.”
“Kau pikir aku enggak serius, sudahlah sayang. Jangan terlalu dipikirkan.” ucap sang laki-laki sambil menghapus air mata di pipi perempuannya.
Berpuluh tahun berselang, sang perempuan yang kini tak lagi berusia dua puluhan, duduk melamun di bawah cahaya pagi. Ia mengaduk dua cangkir teh tawar. Kemelut di hatinya belum juga reda. Hingga seseorang dari pintu memperhatikannya.
“Ma, mama kenapa?” ucap seorang ibu muda yang tak lain adalah anak perempuannya.
“Semalam bapakmu pulang, Nduk.Dia meminta ibu ikut dengannya.”
Lagi, sang anak mendengar ibunya berkata demikian.
Esok harinya giliran sang menantu yang mendengar mertuanya berkata demikian.
Hari demi hari berlalu dan setiap pagi sang perempuan selalu membuat dua cangkir teh tawar. Ia akan meminumnya secangkir dan mendiamkan secangkir teh lainya hingga tak lagi hangat. Setiap pagi ia akan berkata bahwa laki-laki itu akan menjemputnya. Laki-laki yang sudah berjanji berpuluh-puluh tahun yang lalu.
“Nak ada kupu-kupu masuk ke ruang tamu biarkan saja.”
“Tenang, Ma. Lagian Nana enggak akan berbuat jahat sama itu kupu-kupu.” balas anak perempuannya dengan senyum.
“Ya mama tau kamu anak baik. Cucu mama di mana lagi bobo apa? Kok ndak keliatan.”
“Iya, baru Nana tidurin. Ma, kupu-kupunya cantik ya.” ujar anak perempuannya yang kini menyandang status ibu.
“Iya sama seperti mama kan, Na?”
“Maksudnya, gimana ma?”
“Nduk, mamak kau ini sudah berumur. Sudah nenek-nenek usia mamak tinggal menghitung hari. Kupu-kupu yang datang itu bisa berarti dua kemungkinan pertama, kita akan menerima berita kelahiran seseorang di keluarga ini. Atau kemungkinan yang kedua kita akan menerima berita kematian seseorang di keluarga ini. Mungkin sudah saatnya mamak menyusul bapak, Nduk. Dia sudah berjanji sebelum Abang kau lahir. Dia sudah berjanji tak akan lama membiarkan mamak sendiri.”
Sang anak perempuan pilu mendengarnya, “Ma, ini baru 40 hari bapak pergi. Mama, di sini masih ada Nana, masih ada Abang Syam. Mama enggak boleh ngomong begitu. Mama pasti bisa ngelewati ujian ini. Ikhlas, Ma.”
“Mamak sudah ikhlas Nduk, mamak tiap malem doain bapakmu. Tiap selesai sembahyang mamak selalu ngirim. Tapi akhir-akhir ini bapakmu selalu dateng ke mimpi mamak. Katanya dia nunggu mamak.”
“Umur itu rahasia Tuhan, nduk. Tapi kau harus tau bahwa perasaan yang datang itu ndak pernah bohong. Kita ndak tahu kapan pastinya. Tapi kita bisa merasakan lama tidaknya. Mamak titip cucu-cucu mamak ya, Nduk. Besok kalau mamak enggak duduk di teras depan rumah, berarti mamak sudah duduk bersama bapakmu.”
Dan pagi itu tiba desertai guyuran hujan di bulan November tahun 2100. Sebuah piringan hitam dengan lagu sampai jadi debu bersuara di kamar tua sang perempuan. Sebuah lagu yang juga menjadi gambaran hidupnya. Menjadi saksi kepergiannya, bukan lagi di teras duduk meminum teh hangat dan merajut. Bukan lagi termenung di tengah malam sebelum tidur. Kini ia telah kembali bersama seseorang yang dicintainya, kembali pulang ke tempat bernama keabadian, rumah yang sebenar-benarnya rumah.
Nduk : panggilan orang tua di wilayah Jawa tengah kepada anaknya.
Ndak : memiiki arti tidak.
Mamak : panggilan seorang anak kepada ibunya.
“"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.