Payung Terjatuh - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Payung Terjatuh

Oleh: M3


Tetesan hujan mulai terdengar ketika Kei menyempurnakan pemakaian sepatunya. Tangannya menggeser pintu. Pemuda berkacamata itu langsung mendongak ke langit yang sangat mendung. Seulas senyum tergambar dari wajahnya. Kemudian ia mengambil payung yang tepat bersandar di samping rak sepatu. Langkahnya dengan tenang keluar rumah tanpa berpamitan karena memang tidak ada orang lain sore itu di rumah. 


Leo, sang adik, tengah berada di rumah temannya. Orang tuanya masih dalam perjalanan pulang setelah berbisnis dari luar kota. Meskipun mendung melanda, hatinya begitu riang karena ada janji temu yang harus ditunaikan. Bertemu Aira, pujaan hati yang selalu membuatnya bersemu merah.


Syal merah yang melingkar di lehernya menjadi penyelamat yang bisa menutupi betapa merah pipi dan lehernya. Udara sangat dingin. Tangan pemuda itu berkali-kali bergantian memegangi payung. Tiba-tiba dering telepon terdengar dari saku kirinya. Segera, tangannya beralih mengambil gadget.


“Ha? Mama?” gumamnya terbelalak dengan mulut setengah terbuka.


Jantungnya berdegup lebih kencang. Peluh terasa mengalir di bawah rintik hujan yang membawa angin dingin. Kei meneguk ludah, tidak berani mengangkat telepon. Namun, khawatir jika ternyata orang tuanya telah sampai di rumah, padahal rumah Aira tinggal beberapa langkah lagi.


“Kalau Mama sampai tahu aku ke rumah Aira lagi, gawat. Bakalan dipecat dari kartu keluarga, nih,” keluhku.


Sejak awal, sebenarnya Kei sudah diwanti-wanti oleh kedua orang tuanya agar tidak berpacaran. Selain bisa menurunkan prestasi, produktivitas, juga menyebabkan malas ibadah, bahkan maksiat yang diinginkan syahwat, tetapi tidak diinginkan nurani. Sayangnya, nasihat itu tidak diindahkan sehingga pacaran kedua sejoli itu dilakukan di belakang.


Nak, lagi salat, ya? Maaf Mama tadi misscall. Nanti malam bahan masakan masih ada? Udah kamu masak, Nak? Kalau belum, nggak usah masak, ya. Mama sama Papa nanti malam mau membelikan sushi favoritmu sama nasi goreng kesukaan Leo. Kira-kira kami bakalan sampai di rumah pukul Sembilan malam, Nak.


Ps: jangan coba-coba berhubungan intens sama Aira di saat kami pergi. Pacaran itu bahaya, Nak. Mama udah pernah ngobrolin ini sama kamu. Mulai dari pendekatan menuju keberanian sentuh menyentuh berujung zina kubra. Naudzubillah.

Dari Mama | dibaca – 15:43 WIB


Mamanya bagaikan tengah memata-matai si sulung. Embusan napas lega keluar dari bibirnya. Rupanya kedua orang tuanya itu belum pulang. Dengan tenang, Kei melanjutkan langkah hingga tepat di depan pagar Aira. Setelah itu dibalasnya pesan dari sang Mama.


Iya, Ma. Siap. Makasih banyak. Love u all. Hati-hati ya, Ma, Pa. Selalu berdoa pas di jalan. Fii amanillah. Semoga terus dijaga Allah, Ma.

Dari Kei | terkirim 15:45 WIB | dibaca 15:46 WIB


InsyaaAllah, Nak. Makasih. Love u too, Sulung. Dapat salam nih dari papamu. Hei, ingat pesan Mama. Awas ya kamu sampai nggak nurut! Bakal Mama pukul bokongmu seperti waktu kamu kelas 2 SD.

Dari Mama | dibaca – 15:48 WIB


“Mama, ada-ada saja,” batin Kei terkekeh ringan, tetapi bersikukuh meneruskan niatnya.


Sesampainya di sana, dengan tetap menggenggam payung di sisi kanan, Kei menekan bel rumah Aira. Suasana perumahan itu sepi sekali. Hanya terdengar suara riuh air hujan. Sedikit lama menunggu, pemuda berkacamata itu menunduk melihat jam di ponselnya. Kemudian, ia nostalgia oleh beragam pose fotonya dengan Aira. Bibirnya menyungging senang. Betapa hangatnya keceriaan mereka dalam foto.


“Ba!” sapa Aira melompat ke depan Kei, lalu menarik pintu pagar.


“Hah! Aira! Kau membuatku hampir jantungan saja,” pekik Kei gemetaran sedetik dan terperangah hingga terengah-engah.


“Hahah. Napasmu tuh sampai kelihatan di udara begitu. Kaget banget sih. Emang lagi ngelihat apa?” tanya gadis berambut lurus selengan atas itu sembari memajukan bibirnya.


“Ini, aku lagi lihat ini, nih,” balas Kei mengulum senyum.


Mereka tertawa bersama melihat pose konyol dari Aira. Kei pun mengunci ponsel dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Setelah itu tangan kirinya mencubit hidung Aira secara pelan. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu sangat gemas dengan gadis di hadapannya yang baru dipacari selama tujuh bulan. Aira langsung menepis lengan Kei dengan lembut.


“Ih! Tanganmu penuh kuman tahu!” protes Aira makin memajukan bibirnya.


“Iya, iya, Nona Jambu. Hidungmu sudah sangat merah sekali. Kalau makin maju malah mirip jambu kupas. Hahah. Lucu sekali,” ujar Kei tertawa memegangi perutnya.


“Bisa-bisanya terpingkal-pingkal di pinggir jalan begini. Hei! Astaga! Ayo masuk! Pacarku malah kubiarkan kedinginan begini,” pekik Aira menepuk jidat.


Aira pun memegang lengan Kei untuk melangkah masuk rumah. Masih di serambi, Kei izin melepas sepatunya dahulu. Selangkah menaiki pijakan, Aira mendekatkan diri ke wajah Kei. Jantung pemuda itu berdebar sangat kencang lagi. Jarak mereka tidak pernah sedekat itu sebelumnya. Laki-laki berkacamata tersebut menegak ludahnya sendiri. Di waktu dingin begitu, tubuhnya seolah panas.


“Kita mau lihat film apa hari ini?” tanya Aira dengan mata berbinar.


“Yang horror saja bagaimana?” usul Kei masih belum menutup payungnya.


“Hm, dari tadi setengah wajahmu tertutup syal aja sih,” keluh Aira.


“Nah! Begini kan terlihat betapa tampannya pacarku,” puji Aira mengalungkan tangannya ke leher Kei setelah ia melepas syal merah itu.


Benda panjang milik kekasihnya disampirkan ke gantungan yang melekat di samping pintu masuk. Aira masih bermanja-manja, sedangkan Kei menahan diri. Berupaya mengontrol diri agar wajahnya tidak terlihat merah. Supaya jantungnya tidak meledak juga. Perlakuan Aira tidak pernah sedekat itu sebelumnya.


“Kenapa wajahmu begitu? Tegang banget sih,” ledek Aira melepas pelukannya, lalu melanjutkan, “Apa aku tidak boleh memeluk pacarku sendiri?”


Kei hanya bisa bergeming. Tubuhnya sama sekali tidak berkutik bahkan untuk mengerjap sekali pun. Dirinya masih terpana oleh desiran yang menghampiri ketika pacarnya itu memeluknya secara tiba-tiba.


“Hei! Nggak apa-apa. Orang tua dan kakak-kakakku tidak ada di rumah. Jadi nggak usah khawatir. Apa kau mau ‘bermain’ juga denganku?” saran Aira menggigit bibir sebelah kiri sambil tersenyum malu-malu.


Kini, pemuda tersebut membulatkan mata. Berupaya mencerna kata-kata Aira perihal tidak ada orang di rumah selain dirinya. Bingung merajai pikirannya terkait ajakan bermain. Aira menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga. Selanjutnya, tiba-tiba ia mencium bibir Kei seraya berjinjit dan melingkarkan tangannya lagi ke leher pacarnya itu. Sontak Kei terbelalak mendapati dirinya makin jauh terjerembap pada situasi yang benar-benar diinginkan syahwatnya. Payungnya terjatuh. Selintas sempat tebersit di hatinya, ia ingin melanjutkan situasi. Namun, nuraninya tidak tenang.


Dalam sekejap, sekilas pandangan orang tua, adik, dirinya, dan bagaimana ketika ia mati dalam keadaan lebih memalukan. Allah pasti marah. Meskipun sangat mau pada saat itu–jantungnya juga berdebar kencang–tetapi ia memilih menenangkan nurani yang tidak tentram. Sesuatu yang membuat khawatir, tidak nyaman, dan menggelisahkan harus segara dipadamkan. Kei pun mendorong Aira. Gadis itu terperangah sebab pacarnya berlaku kasar.


“Kei! Kenapa kau kasar sekali? Tunggu! Kei! Kenapa kau malah berlari pergi? Apa yang salah?” pekik Aira membulatkan mata.


Lelaki berusia 17 tahun itu berlari menyusuri perumahan yang telah dihafal jalannya. Berbekal kaos kaki abu-abu, ia terus menjauh dari rumah Aira. Sepatu, syal, dan payungnya dibiarkan tertinggal di sana. Baru kali ini tiba-tiba dirinya menangis tanpa bisa ditahan. Berkali-kali istigfar digumamkan olehnya.


Belasan menit telah berlalu. Telapaknya gemetaran menggeser pintu. Tubuhnya masuk dengan kaku. Terlihat sepasang sepatu putih yang masih basah dan memiliki noda lumpur. Leo sudah pulang. Dengan wajah terbelalak, Kei mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Tidak mendapati adiknya di ruang keluarga, Kei bergegas menaiki tangga yang posisinya berhadapan langsung dengan pintu masuk.


Sesampainya di anak tangga ke tiga belas,, dari bawah Leo memanggilnya. Bulu kuduk Kei meremang seketika. Degup jantungnya yang belum stabil malah menjadi-jadi. Baru kali ini ia bagaikan maling yang tertangkap basah. Peluh mengalir deras menambah kegugupan.


“Kak? Dari mana?” tanya Leo melongok seraya mengelap gelas yang basah.


“Habis hujan-hujan. Udah ya? Kakak mau mandi,” jawab Kei segera berlalu.

Leo mengerutkan kening karena melihat gelagat yang berbeda. Seusai membereskan piring dan gelas kotor, ia melangkah menaiki anak tangga yang menyisakan air hujan.


“Lah, beneran hujan-hujanan nih orang. Ada yang aneh,” selidik Leo menyipitkan mata dan memegangi dagunya.


Tok, tok… tok, tok… tok, tok, tok…


“Kak, maaf ya. Leo masuk,” izin Leo membuka pintu.

Terlihat Kei yang sedang memojok di balkon kamarnya. Memeluk lutut dan tubuhnya gemetaran hebat. Leo terbelalak, tetapi mengurungkan niat untuk mencecar kakaknya itu. Ia berputar untuk berlari kecil ke dapur. Setelah menyiapkan teh lemon hangat, anak berusia lima belas tahun itu kembali ke kamar Kei.


Baru memegang pundaknya secara perlahan, Kei langsung bersikap defensif. Hampir terlonjak mengira itu orang tuanya. Tanpa bicara, Leo mengulurkan minuman yang telah dibuat. Kei menerimanya dengan tangan masih gemetaran. Adiknya itu mengambil posisi pada balkon sebelah kiri. Duduk bersila menanti kapan pun kakaknya bersedia cerita.


Sudah dua puluh tiga menit berlalu bersamaan nada getar dari ponsel Kei yang seolah tiada hentinya. Leo diam saja saat kakaknya tidak menggubris panggilan itu. Teh lemon telah habis. Udara dingin yang menusuk tidak mengganggu kedua remaja laki-laki itu.


“Kakak sudah aman. Kalau sudah siap menceritakan mengapa hujan-hujanan pakai jaket, silakan! Leo mendengarkan Kak Kei,” pintanya ikut duduk memeluk lutut.


Kei pun menceritakan seluruh kejadian yang baru saja ia alami. Bukannya senang, ia terasa telah menodai seorang gadis dan dirinya sendiri. Apabila Kei tidak lari saat itu, entah bagaimana mereka berdua menghabiskan waktu bersama.


“Apa? Kakak gila, ya? Bisa-bisanya pacaran di belakang! Bagaimana Kak Kei menghadapi pengadilan Allah nanti? Nggak malu? Apa kata Papa sama Mama?” tanya Leo bernada menahan teriakan.


“Iya, aku sudah gila! Bodoh banget! Padahal udah dijaga orang tua kita, aku malah membangkang begini,” sahut Kei meremas rambutnya dengan kedua tangan.


“Beruntung Kakak itu! Jika bukan rahmat dari Allah, nggak selamat kalian berdua dari perbuatan keji hari ini,” seru Leo menggelengkan kepala.


“Terus aku harus gimana nanti menghadapi Aira?” tanya Kei kebingungan.


Leo memegangi dahinya sendiri, lalu menyibak poninya ke belakang sembari menghela napas dan berkata, “Kakak ajak Aira buat ketemuan pas udah siap. Bilang soal kebenaran. Nggak perlu defensif. Misalnya mau nangis lagi, menangislah. Itu tandanya hati Kak Kei masih berfungsi. Setelah menjelaskan, hapus foto kebersamaan kalian. Terakhir, putusin. Belum siap menikah nggak perlu main api. Tenangin diri kakak dulu. Biar Leo yang bilang jika Kakak butuh sendiri ke Kak Aira.”


“Woi, bicaranya di tempat yang banyak orang lalu lalang! Perlu Leo amati dari jauh?” tambah Leo memberikan saran di kala kabut mengerubungi kejernihan Kei.


Kei menyetujui. Leo pun berdiri disusul kakaknya itu. Mereka berpelukan. Nasihat terakhir dari Leo, Kei diminta salat tobat seusai Magrib nanti. Ia meninggalkan kakaknya sendiri hingga kedua orang tuanya pulang. Beruntunglah malam itu berjalan normal, meskipun Kei harus mematikan ponselnya demi menetralkan hati.


Malam sebelum tidur, Kei meminta maaf melalui Leo dan mengatakan ingin menjelaskan mengapa membatalkan janjinya kepada Aira. Mereka bertemu dengan diawasi Leo dari kejauhan. Aira nampak kecewa dan menangis. Namun, gadis berambut lurus itu tetap berterima kasih karena diberi penjelasan. Mereka pun tetap berteman mulai sekarang.


“Maaf. Aku tidak mau merusakmu. Jadi, kita berteman saja,” ucap Kei menunduk.


Sungguh berat untuk keduanya karena episode berbunga baru saja bermekaran. Akan tetapi, prinsip tetaplah prinsip. Kei memilih hal berat yang enggan diterima syahwatnya. menerima rahmat dari Rabb-nya sehingga lega meninggalkan hal keji. Mulai dari sana, Kei bertekad tidak akan pacaran lagi dan menjaga kontak fisik dengan lawan jenis.


“Rupanya aku tidak salah mencintaimu,” lirih Aira tersenyum tipis serta melambaikan tangan."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.