https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
"MAAF AYAH UNTUK IBU
Oleh : Hesty Zebriyani
“Jika suatu saat nanti kamu bertemu ibu, sampaikan maaf dari Ayah.” Bagas tak begitu menghiraukan kata-kata ayahnya yang sedang dalam sakaratul maut. Bagas memandangi wajah tua yang terpasang alat semacam selang di hidung. Bunyi-bunyi berisik alat deteksi kesehatan menjadi latar kesedihan anak yang tak rela melepas kepergian ayahnya.
“Ayah sudah bersalah.” Terbata-bata dia mengurai satu demi satu kata-kata. Nafasnya tersengal dan lebih berat dari sebelumnya.
“Apa maksud Ayah? Dia yang sudah pergi. Biarkan saja dia.” Wajah Bagas berubah merah. Ia marah. Ia tak sadar suaranya kini menggema di ruang berpendingin udara.
“Ibumu tidak bersalah. Sama sekali tidak bersalah.”
“Bagas, temuilah Ibumu, Nak.”
Tak mau berdebat lebih lama, Bagas hanya menangis. Disembunyikannya amarah yang tadi sudah terlanjur tumpah. Anak laki-laki gagah dengan bahu yang lebar itu membelai rambut putih ayah yang basah akibat keringat.
“Ayah, bertahanlah.” Saat Bagas mengatakan kata-kata itu dengan tangisan, ayahnya hanya menatap lirih pada wajah anak satu-satunya. Sesaat setelah dia menghembuskan helaan nafas panjang dan berat, dia pun berkata, ”Ayah, pergi!”
“Ayah… Bangun, Yah. Bangun!!!” teriak Bagas meraung-raung. Suaranya yang menggelegar tak mengganggu dokter dan perawat. Mereka tak beranjak sedikitpun. Sedari tadi, Bagas tak menghiraukan mereka. Dia kelewat fokus dan lekat pada ayahnya.
Selain alasan kepergian ibu, ayah dan segala teka-tekinya adalah salah satu misteri dalam hidup Bagas. Dan permohonan terakhir Ayah membuat Bagas diam sepanjang jenazah digotong dengan tangan-tangan kekar itu. Doa-doa sepanjang jalan tak sanggup meredam suara-suara berisik dalam kepalanya.
Tenaganya ikut terkuras saat mengangkat jenazah ayah ke liang lahat. Tatapannya tetap kosong kecuali saat satu dua ibu-ibu bergunjing persis di samping nisan bertuliskan nama ayah.
“Lihat, kasihan Pak Johan. Mati tanpa ditemani istri.”
“Iya, dua puluh tahun yang lalu dia pergi gitu aja, tanpa bilang apapun.”
“Istri tak tahu diri. Sudah dibawa dari kampung, eh malah pergi gitu aja.”
Tatapan Bagas lekat-lekat menatap sekelompok ibu-ibu yang terbilang berani. Ocehan mereka terhenti saat seorang ibu tua memperingati mereka. Wajah-wajah yang mulai keriput itu memerah saat dihardik cukup keras.
Adegan itu tak disadari orang-orang akibat riuh rendah doa-doa yang dikumandangkan di sekitar pusara ayah. Bau bunga-bunga menyeruak terbawa angin sore, memberi ketenangan barang sebentar saja. Dan satu persatu orang-orang itu meninggalkan Bagas dalam kesendirian termasuk rekan-rekan kerjanya.
Air matanya kering. Tak ada tangis yang keluar sejak ayah dibungkus dengan kain kafan. Oleh karena itulah, kepala Bagas tak bisa diajak kompromi. Perasaan yang tertahan menimbulkan sesak. Belum lagi telinganya tidak sanggup menanggung gunjingan tetangga bahkan saudaranya sendiri.
Dan dimulailah hari-hari penuh kesengsaraan. Malam itu dibumbui gerimis yang tak sedikitpun berkurang sejak sore. Segala perasaan, kenangan, bahkan luka dari ibu dibawa Bagas ke dalam mimpi. Berawal dari cerita-cerita bahagia hingga akhirnya gelap. Bagas ketakutan setengah mati. Dia terbangun dari mimpi. Butir-butir keringat menempel pada dahinya. Menyisakan pola tak beraturan pada bantal.
Tubuh tegap itu beranjak dari tempat tidur. Matanya segar kembali. Hujan gerimis sudah tak lagi ramai bersuara di atas genteng. Hanya setitik dua titik air yang jatuh akibat menumpuk di ujung talang.
Bagas kembali hanyut dalam kesedihan. Dia kemudian masuk ke kamar ayah. Dipandanginya satu persatu foto berpigura di dinding. Senyum khas ayah lengkap dengan kumis tebal. Oh, rindunya Bagas. Tubuhnya mendadak lemah dan ambruk di samping kasur yang masih rapi.
“Ayah, kenapa ayah pergi? Bagas sendiri.” Laki-laki dewasa bisa saja lemah di hadapan kesunyian. Lebih jujur menghadapi hidup yang amat sengsara ini. Tak luput pula Bagas seperti itu.
Di tengah-tengah kegalauan hatinya, Bagas membuka satu persatu laci meja kerja. Didapatinya sebuah kartu pos yang terselip dalam buku catatan milik ayah. Warna kuning dan oranye mencolok memantik rasa penasaran.
“Ibu?” Berulang kali Bagas membolak-balik kartu pos itu.Diamatinya tulisan tangan ibu yang halus dan rapi.
Hanya ada beberapa kalimat tertulis jelas. Mas, apa kabar? Kabar Bagas? Mas, Aku rindu anak lanangku. Tolong kirimkan fotonya. Hanya itu saja. Awalnya Bagas ingin mencari alasan kepergian ibu. Tapi hanya beberapa kalimat itu yang jelas tertulis selain alamat lengkap di Klaten.
Berhari-hari ditelan kebimbangan membuat Bagas tak berniat pergi ke alamat ibu. Ia hanya tenggelam dalam kesibukan. Salah satu cara agar tak larut dalam kesedihan. Tapi, apa daya Bagas hanya manusia rapuh yang bisanya mengolah kegelisahan menjelang tidur.
Hingga akhirnya bayang-bayang wajah Ayah membuatnya bersikeras pergi. Semua demi pesan terakhir ayah. Ucapnya tegas dalam hati. Sama sekali Bagas tak merasa rindu dan ingin menjemput ibu. Berpikir pun tidak.
Jakarta menuju Klaten, delapan jam perjalanan Bagas menaiki kereta api. Desing suaranya, pemandangan hijau serta aroma menggelitik nasi goreng yang dibelinya di stasiun membuat Bagas sejenak lupa akan amarah. Seolah ia menganggap ini adalah liburan singkat.
Segera setelah tiba di Stasiun Klaten, Bagas mulai mencari tahu alamat itu sambil menggendong tas ransel berisi pakaian seadanya. Suasana yang sangat jauh berbeda ketimbang Jakarta, kota hiruk pikuk. Tak jarang dijumpainya beberapa ibu dengan pakaian kebaya kurung merangkul bakul berisi jamu.
“Jamu, jamu… Jamu, Mas?” teriak ibu yang lumayan tua saat Bagas berpapasan dengannya. Laki-laki itu hanya menggeleng lalu menunduk dalam.
Bagas malah balik bertanya kepadanya, “Ibu, permisi. Ibu tahu alamat ini?” Wajah laki-laki bermata sipit itu berbinar. Dia berharap ada petunjuk.
“Oh, kalau ini, si mas tinggal naik angkot kuning, bilang ke depan Kantor Camat Ceper. Nanti naik becak ke komplek pesantren.”
“Makasih ya, Bu.”
“Nggeh, Mas.”
Petunjuk ibu penjual jamu itu tak susah untuk diingat. Dia persis mengikuti arahannya. Bagas kemudian memperbaiki letak ranselnya agar lebih nyaman digendong, memudahkannya untuk bergerak cepat.
Bagas hanya diam dan pasrah akan kemana supir angkot membawanya. Dia hanya menyampaikan pesan sesuai dengan kata-kata ibu penjual jamu. Untung saja, bapak supir angkot berkalung handuk putih itu menurunkannya tepat di depan Kantor Camat Ceper.
Tanpa perdebatan harga, Bagas menaiki salah satu becak. Saat itu kantor camat sedang ramai-ramainya. Bapak penarik becak memang sudah tua, tak disangka kekuatannya malah seperti anak muda.
“Mau kemana, Mas?” tanya si bapak tua dengan suara yang agak berat. Bagas langsung menyodorkan kartu pos yang agak lusuh.
“Oh, itu rumah Pak Kyai.” Tiba-tiba saja kayuhan becak lebih cepat. Bapak dengan kulit hitam legam itu sungguh senang. Dari ceritanya, dia sangat menghormati sosok Pak Kyiai. Sudah berapa kali hidupnya terselamatkan berkat bantuannya.
Cerita-cerita itu ibarat dongeng pengantar menuju tempat ibu. Akan tetapi, Bagas tak begitu menghiraukan ocehan bapak penarik becak. Ada perasaan aneh ketika dalam perjalanan. Pikiran-pikiran berkecamuk.
Apa yang akan kusampaikan pada Ibu? Ibu sekarang seperti apa, ya? Apakah ibu baik-baik saja? Jangan-jangan wanita itu menikah lagi. Semua kalimat-kalimat itu berdesakan dalam kepala.
“Nah, kita sudah sampai.” Kayuhan becak berhenti pada sebuah gerbang besar berpigura. Tertulis jelas nama pesantren lengkap dengan alamat.
Saat turun dan memberikan uang selembar berwarna biru, si bapak penarik becak malah menunjuk ke arah seberang. “Itu dia rumahnya, Mas.” Bagas lama mengamati sebuah rumah joglo yang lumayan bagus.
Bagas diam. Hanya senyum yang bisa dia balas berikan karena kebaikan bapak penarik becak. Selangkah, dua langkah. Sangat hati-hati. Jantungnya berdegup lebih kencang. Meski sudah sore, angin sejuk bertiup kencang. Dari arah dalam, seorang bapak tua dengan jenggot putih dan panjang keluar.
“Cari siapa, Nak?” Dipandanginya Bagas dengan tatapan heran. Belum pernah ada pemuda gagah dengan setelan kota datang ke tempat agamis seperti ini.
“A, aanu, Pak. Sa-saya cari seseorang di sini.” Bagas terbata-bata. Takut dan malu. Itulah yang dirasakannya saat ini. Bagas tak lupa menyerahkan selembar kartu pos yang dikirim ibu kepada ayahnya.
Bapak tua itu ternyata kyai yang diceritakan. Beberapa santri yang lewat memanggilnya demikian. Pandangan matanya menyapu dari ujung kaki ke ujung kepala. Bagas agak risih dibuatnya.
“Apa nama orang yang ada di situ masih tinggal di sini, Pak?”
Tak ada jawaban dari bibirnya yang mulai keriput. Jenggotnya masih saja dielus-elus. Dia menarik nafas panjang sembari memperbaiki letak sarung coklat tua nan lusuh. Dia mengajak Bagas untuk duduk di atas kursi kayu yang dingin.
“Kamu mirip sekali dengan ibumu.”
“Ba-bagaimana bapak bisa tahu?”
“Mata sipit dan tanda lahir di tangan kananmu.” Pak Kyai itu menunjuk ke lengan kanan Bagas.
“Saya tak akan lupa saat-saat menggendongmu persis waktu kamu lahir dulu, Bagas.”
“Retno itu adik sepupu jauh saya.” Si bapak tua mencoba mengurai satu demi satu kebingungan. Bagas menganga lebar.
“Saat rumah tangganya bermasalah, dia tak kembali ke kampung. Tak mau membuat eyangmu malu, ya dia akhirnya tinggal di sini.” Satu kalimat itu cukup menjelaskan kepergian ibu.
“Kalau boleh tahu, masalah apa, Pak?”
Bapak tua dengan logat jawa yang kental masuk ke dalam rumah. Bagas tak habis pikir kenapa pertanyaan itu belum juga dijawab. Tak lama kemudian, dia kembali dengan sebuah surat yang amplopnya masih rapi.
“Ibu kamu menitipkan ini kalau-kalau kamu datang.”
Bagas meraih surat. Dibukanya perlahan amplop putih yang pinggirnya sudah menguning. Dalam pikirannya saat ini, Bagas didera dengan banyak tanda tanya. Ada rasa lega yang mungkin akan diraihnya.
Satu persatu kalimat itu dibaca pelan-pelan dalam hati. Entah kemana emosi yang dulu meledak-ledak saat mengingat ibu. Ayahnya memang tak pernah menjelek-jelekkan ibu. Tapi mengingat kepergian Ibu yang mendadak, kebencian itu kerap tumbuh setiap hari dalam hatinya.
Bagas meneteskan air mata. Kini pipinya basah dan lembab. Sementara itu, Pak Kyai membiarkan keponakannya larut dalam kesedihan. Rasa-rasanya pembebasan emosi penting bagi Bagas.
“Ibu…” Bagas hanya sesenggukan. Dia menggenggam erat dua lembar surat itu. Agak kusut di ujungnya.
“Retno itu wanita yang sangat mementingkan kepentingan keluarga. Dia sangat menjaga kehormatan suami dan anaknya.”
“Bagas… Ayahmu tak pernah mau jujur tentang istri keduanya. Padahal saat itu, ibumu sudah tahu. Dia hanya tak mau membuka aib itu.”
Anakku, maafkan Ibu telah meninggalkanmu. Biarlah Ibu yang menanggung beban ini. Penggalan kalimat ini membuat Bagas terdiam.
Bagas duduk sambil tertunduk dalam. Tangisnya semakin pecah titik Bagas tak menghiraukan lagi orang santri yang menatapnya aneh.
""Lalu, di mana Ibu sekarang?""
Pak Kyai mengantarkan Bagas ke belakang pesantren. Di sana terbentang satu persatu pusara-pusara putih dengan tatanan rumput teki yang indah. “Beliau sudah lama meninggal. Saat kesini dia sudah sakit-sakitan.”
Bagas lamat-lamat terduduk di samping makam ibunya. Belum pernah sekalipun dia bertemu sejak dua puluh tahun lalu. Dan yang dirasakannya kini luar biasa hebat. Tangis penuh pilu dan luka mendalam.
“Ibu…!” Bagas setengah berteriak. Sementara Pak Kyai dengan sabar mendampingi, mengelus-elus punggungnya yang lebar.
Sungguh malang nasib Bagas. Ayah dan Ibu kini telah tiada. Kepergian keduanya membuat kenangan pahit sepanjang masa."
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.