Kenangan yang terlupakan - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Kenangan yang terlupakan 


""Cinta. Bagaikan sebuah telur yang memiliki kulit yang rapuh. Sangat mudah pecah jika terbentur. Tidak ada yang bisa mengerti arti dari cinta. Bahkan jika seseorang kehilangan sedikit kenangannya. Cinta akan tiada. Dan membuat salah satu darinya menderita""


***


Hari ini aku berdiri menghadap ke arah selatan, desiran angin pantai yang terasa berbeda dari biasanya yang membuat setetes air keluar dari ujung mata ku tanpa alasan. Aku tidak tahu dan aku tidak ingat tapi aku merasakan dan aku mendengar, ada sebuah ikatan yang menghubungkanku melalui desiran itu. Sebuah kenangan yang bahkan tidak bisa aku ingat meskipun mata ini sudah tertutup. Kenangan yang kelam yang berhubungan dengan sebuah arti dari emosi kasih sayang yang telah terlupakan. 

Hangatnya matahari barat adalah pengingat untukku agar aku kembali pulang dengan tangan kosong tanpa jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku dan harus kembali keesokan harinya untuk melakukan hal yang serupa.

“Kakak?”, suara lembut seorang perempuan terdengar dari arah punggungku. Dia adalah adikku. Perempuan tangguh yang tidak kenal lelah menyadarkanku tentang kenyataan. Perempuan yang selalu sabar menghadapi diriku tentang kenangan kelam itu. 

Kala itu, aku sedang menangis. Menangisi suatu hal yang bahkan aku tak ingat. Seseorang datang memberikan sebuah jaring ikan kepadaku. Aku merasa keheranan, lalu dia menarik tanganku menuju ketengah pantai menerobos ombak yang bahkan terlihat sangat mengerikan dari bibir pantai. “Aku takut dengan ombak” teriakku. “Jika kau takut ombak bukan berarti kau takut dengan airnya kan?” jawabnya sembari tersenyum sinis. Aku memeluk erat tangannya dan membiarkan ombak melewati kami berdua. Lalu, aku melupakannya.

Perayaan besar dilaksanakan, sepertinya akan ada pernikahan. Orang yang aku kenal saat itu sedang menggunakan pakai serba putih yang membuatnya semakin terlihat tampan, aku tersenyum berusaha untuk terlihat bahagia dan aku melupakannya. 

Malam telah tiba, sinar bulan yang awalnya terlihat berseri mulai menghilang di balik awan hitam petir. Sepertinya alam mengerti, lirik suara hati. Namun hal ini semakin menjadi-jadi, suara ombak yang awalnya terdengar serasi dengan suara kapal sekarang mulai mendominasi. Entah apa yang terjadi, di asinnya air ini terlihat lelaki perpakaian putih itu memeluk wanita yang sedang tenggelam karena pakaian beratnya. Tapi sayang wanita dan lelaki itu terlupakan. 

Perayaan kedua dimulai namun perayaan ini berbeda dari sebelumnya. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku mendengar perayaan tersebut tidak boleh aku ikuti. Yah… bagaimana bisa, aku saja sedang terbaring disuatu tempat tidur karena telah lelah bertarung dengan kenyataan yang pada akhirnya semua gelap, menghilang, dan terlupakan. 

“Kakak?”, kata perempuan itu sekali lagi yang membuat diriku sadar akan kenangan singkat itu. “Sudahlah kak, ayo kita pulang. Malam akan segera tiba. Jangan terus menyesalinya”, aku tersenyum dan aku buka White Cane kesayanganku, karena tanpa itu, adikku saja tidak akan cukup untuk menuntunku. 

Inilah aku, seorang perempuan yang menjadi seorang tunanetra selama 3 tahun. Kecelakaan yang telah merebut mataku ini, juga telah merebut mata hati dan ingatanku. Serpihan-serpihan kenangan itu membuatku tersiksa setiap waktu. Semakin banyak yang aku ingat semakin banyak hal yang akan aku lupakan. Aku benar-benar tersiksa. Tersiksa akan rasa bersalah. Bersalah karena apa?. Entahlah aku lupa. 

Setiap senja aku datang ke pantai ini, pantai tempat tragedi itu terjadi, tempat yang mempertemukan kami. Ketika aku beranjak pergi, ombak mengenai kakiku dan adikkku. Hal itu membuat senyum tidak sengaja terlukis diwajahku. Aku berbalik dan mengucapkan kata-kata yang biasa aku katakan sebelum aku pergi.

“Aku juga merindukan kalian, Rendra dan Rini. Maaf karena aku telah menjadi bagian dari kalian pada kala itu”. 

14 November 2021


~end~





Biodata Penulis

Perkenalkan namaku Ni Luh Gede Nanda Arini, akrab dipanggil Nanda. Aku lahir di sebuah daerah yang tidak tertulis di atlas yaitu Banjar Pengedan, 11 Juni 2001, Desa Mundeh, Tabanan, Provinsi Bali. Aku adalah salah satu mahasiswa semester tiga di Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Ekonomi dan Akuntansi. Aku adalah seseorang yang masih terpengaruh akan perasaan dan aku memiliki rasa penasaran yang tinggi akan dunia pertulisan dan ini adalah karya pertama dari sang penulis yaitu aku sendiri, yang dibuat dengan tujuan untuk mengurangi rasa jenuh dan memanfaatkan situasi selama pandemi ini. 

“Selamat membaca”"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.