https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
DI BAWAH PATUNG BUNDA MARIA
*Guerikus Irwandi Tahu
Waktu menunjukkan pukul 18.00 WITA, tetapi perempuan itu masih saja berlutut di bawah patung Bunda Maria, sambil tertunduk dengan tangan dikatup dan mata tertutup. Entah apa yang terjadi, perempuan itu terus berlutut, dengan harapan segera ada orang yang akan berkomentar mendukung keresahannya, tapi hasilnya sia-sia, orang yang terus berlalu-lalang seolah tidak peduli apa yang terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan air mata tiba-tiba saja mengalir di pipi perempuan itu. Tanpa mempedulikan apa perkataan orang-orang sekitar, perempuan itu terus menangis tersedu-sedu, dalam hatinya ia berkata, “Bunda, datanglah menghibur hati yang sedang luka ini. Luka bukan karena disakiti oleh orang lain, tetapi aku yang menyakitinya kembali, bukan orang lain yang menusuknya tetapi aku yang menusuknya Kembali. Aku sangat menyesal, aku sangat menyesal Bunda, andai saja dia tidak pernah hadir dalam hidupku, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi, atau jika aku boleh memohon kembalikanlah aku pada waktu itu agar aku bisa Kembali mengubahnya, memperbaikinya. Tapi apalah daya, penyesalan tetaplah penyesalan, semua telah terjadi dan aku hanya bisa menyesali semuanya ini tanpa berbuat apa-apa, semua orang melihat ku dengan sinis, ada yang menertawakanku dan beberapa tetangga di sekitaran rumah selalu mencibir aku, bahkan ayahku sendiri pernah berkata aku ini anak pembawa sial yang tidak ada untungnya dan hanya memalukan nama keluarga. Luka ini semakin sakit karena tak ada obat untuk menyembuhkannya, yang ada hanya semakin membuat luka ini tambah parah. Bunda, jika Engkau berkenan, jadilah obat untuk luka yang sudah parah ini, karena hanya Engkaulah yang ku yakin akan memahaminya bukan siapa-siapa lagi. Bunda datanglah menghibur aku.”
Langit jingga itu tiba-tiba saja berubah menjadi gelap, matahari yang tadinya masih menunjukkan dirinya sudah bersembunyi, berganti rembulan yang tidak memancarkan cahayanya secara penuh. Perempuan itu masih saja berlutut, tidak tahu kapan ia akan selesai, Gua Maria yang senja tadi masih dipenuhi beberapa pemuda-pemudi perlahan-lahan sepi dan tersisa perempuan itu yang masih berlutut dan terus menangis menyesali perbuatannya. Luka batin itu terus saja ada. Ketika ia sudah dalam keheningan, pikirannya mulai melayang pada kata-kata ayahnya terhadap dirinya. “Dasar anak tidak ada untungnya, sudah capek-capek ayah membesarkan kamu, lalu ini hasil yang kau berikan pada ayah. Dulu sebelum Ibumu pergi Ayah sudah berjanji padanya untuk menjaga kamu dan melindungi kamu, tetapi Ayah gagal Nak! Ayah gagal! Ayah sangat menyesal!” Perempuan itu terus menangis dan dalam hati ia berkata, “Maafkan aku Ayah karena aku sudah mengecewakan Ayah, aku tidak bisa menjadi anak yang baik untuk Ayah. Maafkan aku Ibu karena mungkin Ibu juga kecewa terhadap diriku. Ini bukan salah Ayah atau salah Ibu tapi ini semua salahku. Pertemuanku dengan lelaki itu membuat aku menjadi buta. Enam bulan lalu aku berkenalan dengan seorang lelaki parubaya di sebuah mall. Aku kagum pada kesopanan pria itu, tertarik pada pembicaraan yang ditawarkan pria itu. Aku kemudian luluh saat permainan kata-kata yang selalu pria itu ucapkan pada diriku, sampai suatu saat ia berjanji untuk selalu ada bersamaku sampai maut memisahkan dan aku mengiyakannya. Tetapi ia kemudian lari dari semua itu dan meninggalkan aku untuk menanggungnya sendirian. Maafkan aku Ayah! Maafkan aku Ibu!” perempuan itu yang tadinya berlutut kini telah tiarap di depan Patung Bunda Maria dan terus menangis.
“Ahh!! Kenapa semua ini terjadi padaku, kenapa aku bisa selalai ini tergoda dengan rayuan nafsu sesaat yang merugikan hidupku. Membuat aku kehilangan semuanya, tanpa tersisa satupun. Andai saja aku bisa memutar kembali waktu seperti semula agar aku bisa memperbaikinya. Ahh Bunda, tolonglah aku yang sedang bersusah ini, aku tak tahu apa yang harus aku perbuat selain berharap padamu, hiburlah aku Bunda, hiburlah aku!” Perempuan itu masih saja menangis dalam keadaan tiarap dan dengan penuh penyesalan ata semua yang telah terjadi pada dirinya.
Perempuan itu lalu Kembali berlutut, mengusap air mata yang sedari tadi membasahi pipinya dengan penuh harapan dan kepastian bahwa Bunda selalu menghiburnya. Perempuan itu lalu membuat tanda salib dan Kembali berdiri untuk segera pulang. Menuju tempat duduk yang ada di depan Gua, perempuan itu duduk dan mengambil selembar tisu dalam tas merah buatan ibunya yang selalu ia bawa kemana saja ia pergi. Ia kemudian mengusap air matanya dengan tisu itu sambil kembali memandang rembulan yang saat itu menemaninya sendirian.
Tiba-tiba, ada sentuhan dari seorang lelaki yang memegang bahunya. Perempuan itu kaget. Dengan penasaran ia pun berbalik ke belakang ingin melihat siapa yang menepuk bahunya. saat berbalik, laki-laki itu langsung menyapanya, “Nak!” perempuan itu langsung memeluk lelaki itu sambal kembali menangis dan terus berkata, “Maafkan aku Ayah! Aku menyesal!” Lelaki itu pun terharu dan memeluk erat putrinya seolah-olah ia berjanji pada dirinya untuk tidak membiarkan putrinya kembali jatuh pada pelukan yang salah, sambil menangis lelaki itu kemudian berkata pada putrinya, “Kita pulang, ya Nak! Ayo kita pulang untuk memperbaiki semuanya ini!”
"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.