https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
Bertemuku dengan Perpisahanmu
Bel jam pertama berbunyi…
Wali kelas 12 IPA 1 masuk ke kelas 12 IPA 1 karena ingin memperkenalkan siswa baru. Setelah menjelaskannya maksud dan tujuannya kepada siswa, wali kelas mempersilahkan siswa baru masuk. Siswa baru itu pun masuk dan berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan dirinya. “Hallo, nama saya Chanudra Rastrayukta pindahan dari bandung. Salam kenal semuanya semoga kita dapat berteman baik.”
Seminggu kemudian. Aku dengan Chanudra sudah menjadi teman baik dan dekat, bahkan aku menganggapnya sebagai sahabatku. Karena Chanudra memiliki kepribadian yang ceria, ramah, baik, pintar, lucu dan selalu menceritakan hal-hal seru. Tetapi, tidak dengan menceritakan berkaitan dengan masalah pribadinya.
""Yey, akhirnya selesai. Lu pintar banget, Chan. Lu tau ga sih, lu bener-bener sehebat itu? seperti Math King. Lu makan nasi apa sih bisa pintar banget?"" Pujiku memberi dua ibu jariku kepadanya. Chanu tertawa karena pujian lebay dariku.
""Gua serius, ga boong, Chan."" Ucapku sambil tersenyum malu
Keesokan pagi harinya seperti pagi hari sebelumnya, disekolah. Tidak lama bel masuk telah berbunyi. ""Chanu kok belum dateng ya?"" Tanyaku dalam hati.
Jam istirahat pun telah berakhir. Tidak lama kemudian Chanu memasuki kelas. Aku memperhatikannya, dia berjalan sambil menunduk. Sangat terlihat jelas sekali di wajahnya, pucat dengan kepanikan, ketakutan, dan kegelisahan. Saat dia duduk di bangkunya pun tetap menunduk sambil mengepal dan meremas jari jarinya di atas meja. Aku khawatir sekali melihat Chanudra. Aku ingin menghampirinya, tetapi Pak guru telah masuk kelas. Aku tidak berhenti memperhatikannya sampai bel pulang berbunyi.
Bel pulang berbunyi. Chanu tergesa-gesa beranjak dari bangkunya. Aku pun langsung menarik lengannya, ""Bisakah kita pulang sekolah bersama?"" Langkah Chanudra terhenti, lalu mengangguk.
Di perjalanan pulang, hanya keheningan di setiap langkah antara kami. Banyak sekali pertanyaan di kepalaku mengenainya.
“Ekhm... Chan?"" Panggilku dengan ragu memecahkan keheningan.
""Hm?"" Chanudra melihatku dan tersenyum kecil.
""Kamu kemana tadi? Aku tau kamu tidak telat dan kamu sudah berada di sekolah. Tapi, kamu ke tempat lain bukan masuk kelas."" Tanyaku penasaran sambil melihat Chanudra yang sedang menundukkan kepalanya. Chanudra hanya terdiam dan tidak ada satu kata atau huruf pun keluar dari mulutnya.
""Kita duduk di sana dulu yuk, bi."" Ajak Chanudra. Aku hanya mengangguk. Aku dan Chanudra pun duduk di bangku taman yang sepi tidak ramai orang lalu lalang.
Chanudra menarik nafas dan menghela nafas, ""Oke, gua siap. Gua jawab kedua pertanyaan lu.” Ucapnya tersenyum lebar.
""Tidak ada orang lain yang tahu, selain lu, bi. Gua percaya sama lu. Karena lu sahabat gua dan hati gua maksa buat ceritain semuanya ke lu, bi. Gua percaya dan berharap lu ahli dalam menyimpan rahasia."" Kata Chanudra dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.
""Lu yakin, udah siap cerita?"" Tanyaku. Chanudra mengangguk.
""Gua dateng lebih pagi dan tidu di UKS. Gu-” Kata Chanudra terpotong.
""Lu sakit, Chan?"" Tanyaku panik sambil memegang kedua pipi Chanudra dan memegang jidatnya.
""Ga kok, Gua menumpang tidur,” Jawabnya tertawa sambil memegang tanganku. ""Iyalah gua sakit. Kalau ga sakit, ga bakal boleh tidur di UKS."" Kata Chanudra tersenyum.
""Pantes gua perhatiin muka lu pucat kek orang nahan BAB.” Ucapku tertawa dan Chanudra pun tertawa.
""Punya temen jahat banget. Temen lagi sakit malah di bilang kek nahan BAB. Ga ada khawatirnya ya lu jadi temen. "" Ucap Chanudra sambil memasang wajah memelas dengan mulut bawahnya yang sedikit maju. Aku gemas melihat Chanudra dan mencubit pipi kiri Chanudra.
""Sekarang gua tanya, lu sakit apa? Kalau lu sakit bilang jangan merasakannya sendiri, Chan. Gua selalu berharap lu bisa berbagi apa yang lagi lu rasakan atau masalah lu dan menjadikan gua satu-satunya sandaran yang bisa lu jadikan sandaran. Sandaran di saat lu terluka, sedih, bahagia, pokoknya apapun itu."" Kataku. Chanudra hanya diam.
Semenit kemudian, ""Maafin gua ya. Gua bukan ga mau cerita, hanya butuh waktu buat gua untuk memikirkannya. Kapan waktu yang tepat untuk menceritakannya? Gua mau banget berbagi cerita dan menjadikan lu jadi sandaran gua, lubila. Tapi, gua takut setelah lu dengar semua cerita dan selalu jadi sandaran setiap harinya dengan cerita luka dan masalah. Lu bakal ngejauh dan ga mau temenan lagi sama gua.” Kata Chanudra.
""Batin dan fisik gua sakit. Dari sejak gua lahir ibu gua meninggalkan gua dan kembaran gua kepada ayah."" Lanjutnya.
""Apa?! Lu punya kembaran, Chan?"" Tanyaku dengan mulut menganga.
""Lubila Lanalubil yang cantik, bisakah telingamu mendengarkan dan menyimak ceritaku sampai selesai?"" Senyum Chanudra kepadaku. Aku tertawa kecil mengangguk dan menutup mulutku dengan tangan kananku.
Chanudra pun melanjutkan ceritanya, ""Nama kembaran gua, Zanodra Rastrayukta. Dia sakit dan di rawat di rumah sakit sejak 17 tahun sampai sekarang ini. Dia punya penyakit jantung dari umur 16 tahun. Kita berdua seperti di buang Ibu, tumbuh sendiri tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah dan ibu. Ayah selalu memarahi dan memaki kita, terkadang memukul kita karena suatu kesalahan kecil. Awalnya kita tidak mengerti mengapa ayah memperlakukan kita seperti itu. Pada akhirnya zanudra menanyakan hal itu kepada ayah saat kita usia 15 tahun. Ayah memberitahu alasannya yaitu karena ayah sakit hati kepada ibu. Ibu pergi meninggalkan ayah serta meninggalkan anaknya dan lebih memilih selingkuhannya. Tapi, ayah membiayai rumah sakit Zanu. Walau aku harus memohon-mohon dan harus dipukul ayah dulu, baru ayah mau menanggung semua biaya rumah sakit."" Cerita Chanudra dengan matanya yang berkaca kaca. Ketika mendengarnya hatiku sakit dan reflek air mataku menetes.
""Kenapa lu sekuat ini? Kenapa lu ga pergi tinggalin ayah lu, Chan?"" Tanyaku.
""Kita udah sepakat, tidak akan pergi meninggalkan ayah. Kasian ayah, kalau ayah sakit tidak ada yang menemaninya. Kita yakin, dengan selalu berdoa dan berharap ayah akan berubah dalam memperlakukan kita sebagaimana mestinya seoarang ayah kepada anaknya, bi."" Jawab Chanudra tidak bisa menampung airmata yang tergenang sejak tadi di matanya.
Aku merasa sesak mendengar jawabannya. Aku menangis memeluk Chanudra. ""Kenapa lu setegar dan sekuat ini, Chan. Lu merasakannya sendirian dan bertahan menghadapi semuanya pun sendirian. Kalau gua jadi lu, gua ga akan sekuat lu dan ga akan bertahan. Gua tau lu sangat terluka, lu hebat dan luar biasa, Chan. Tetap menyayangi ayah lu dan ga akan pergi ninggalin ayah lu.” Kataku.
“Gua mohon. Kalau gua terluka jadilah sandaran gua ya, Lubila?” Tanyanya melepaskan peluknya dariku.
“Pasti, Chan. Sekuat apapun diri lu, tanpa sandaran lu akan rapuh. Sekuat apapun diri lu, menahan semuanya sendiri lu akan merasa lebih terluka dan sesak."" Kataku dengan tangisan sambil mengusap tangan Chanudra. “Sakit bukan? Perih bukan? Menangislah Chanudra. Menangislah dengan lepas. Menangis bukan berarti lu lemah, menangis menyembuhkan sebagian luka di sini."" Kataku sambil menunjuk dada Chanudra. Chanudra langsung memelukku erat dan menangis untuk melepaskan sebagian bebannya yang sangat berat dan menyesakkan dadanya serta perasaannya yang sangat terluka.
Chanudra berhenti menangis. Dia menangis selama 15 menit. Chanudra melepas pelukannya dariku dan menghapus air mata yang tersisa di pipinya.
""Mmm.... Sebelumnya Luka yang gua rasakan seperti basah dan sangat perih dan sepertinya sudah kering dan mulai sembuh, bi."" Jawabnya kembalinya senyum manis Chanudra.
""Syukurilah, Chan. Saat lu cerita tadi dada gua ikut sesak seperti merasakan apa yang lu rasakan selama ini. Gua senang liat lu sembuh dari luka yang lu rasakan sebelumnya."" Kataku membalas senyum Chanudra.
Chanudra meraih kedua tanganku dengan tatapan yang sangat lembut. ""Lubila Lalubil, sepertinnya gua merasakan hal yang berbeda,"" Jantungku seakan sedang berlari maraton di sana.""Gua merasakan hal yang beda di sini,"" Chanudra memegang dadanya. ""Gua merasa nyaman dekat lu, merasa tenang dekat lu, dan merasa ga ada lagi luka. Hati gua seperti mengatakan bahwa gua jatuh cinta sama lu, bi."" Kata Chanudra tersenyum manis. Aku hanya diam, mengatur detak jantung agar tak terdengar betapa deg-degannya aku saat ini.
""Gua cuman menyatakan perasaan gua ke lu, biar lu tahu apa yang gua rasain. Gua ga perlu jawaban dari lu kok."" Chanudra pun menggenggam tangan. Jujur aku pun memiliki perasaan yang sama padanya. Tapi aku malu mengungkapkannya.
Setelah Chanudra mengantarkan ku sampai depan gerbang rumahku.""Aku pergi ya."" Senyum manis Chanudra membelakangiku dan melangkah.
""Tunggu! Dan jangan berbalik!"" Suruhku dan Chanudra yang tadinya ingin berbalik mengurungkam niatnya. ""Terimakasih sudah memiliki perasaan yang sama kepadaku Chanudra Rastrayukta.” Teriakku dengan jantungku yang berdegup. ""Iya, sama sama, cantik."" Jawab Chanudra tersenyum malu, lalu mengatakan ""yes"" sambil mengepal jarinya dan mengayunkan tangannya ke belakang serta melanjutkan langkahnya.
Malam harinya, Chanudra ke rumah sakit untuk menjenguk Kembarannya. Lalu dokter menjelaskan kondisi Zanu. “Zanu sempat bicara, “Ingin hidup sekali lagi” dia mentakan itu masih dalam keadaan koma dan mata terpejam, lalu meneteskan air mata.” Jelas Dokter. Chanudra menetes air matanya.
""Baik, dok. Saya sendiri yang akan mendonorkam jantung saya untuk Zanu."" Katanya dengan yakin.
""Kamu serius dengan keputusan ini, Chan? Sudahkah kamu pikirkan ini baik-baik?"" Tanya dokter memastikan, Chanudra mengangguk yakin.
Di pagi hari sebelum operasi, Chanudra mengajakku bertemu di taman perumahan dekat rumahku. Saat aku tiba di taman sudah ada laki-laki yang aku cintai sedang duduk sambil tersenyum manis ke arah ku.
""Hai, cantik."" Sapanya dengan penuh kehangatan.
""Hai, Chan."" Balasku. Ekspresi Chanudra berubah cemberut, ""Aku panggil kamu cantik, kamu manggil aku Chan?"" Tanyanya dengan nada lebay.
""Yaelah, emang maunya apa sih sayang?"" Tanyaku.
""Ga jadi.” Jawabnya memalingkan wajahnya dariku.
""Yaudah, cepet ngapain ngajak ketemuan disini, sayang?” Kataku sambil menarik lengan kanannya. ""Puas lu hah? Jijay gua manggil lu sayang."" Ucapku. Sedangkan Chanudra melompat lompat kegirangan.
Chanudra duduk kembali dengan senyuman yang bercampur senang dan menahan sedih nya. ""Bi, kamu tau ga? Semakin hari semakin besar rasa sayang aku ke kamu. Kalau kamu?"" Tanya Chanudra serius menatap mataku dengan tatapannya yang lembut.
Aku tertawa kecil, ""kenapa jadi serius gini?"" Tanyaku memalingkan mataku darinya.
""Ada sesuatu mau aku kasih tau ke kamu. Awalnya aku ragu untuk memberitahu hal ini. Tapi, kalau saja aku ga memberitahumu. Aku pikir, kamu yang lebih merasa sakit dan perihnya,"" Aku hanya menyimak setiap kata yang dia ucapkan dan menatap matanya dalam. ""Maaf, bi. Aku mau pergi,” Katanya menahan air matanya. Sedangkan aku, aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya, tetapi hatiku sudah merasakan sesak. ""Ak, aku ingin mendonorkan jantungku untuk Zanu, bi."" Jawabnya dengan senyum sambil memegang kedua tanganku.
Seketika aku merasa dadaku sangat sesak dan genangan air di mataku meluap begitu saja. ""Kenapa? Kenapa harus kamu, bi?"" Tanyaku lembut meneteskan air mataku karena perih sekali rasanya.
""Aku sangat menyayangi kembaranku melebih siapapun, bi. Aku rela melakukan apapun deminya. Karena dia juga aku bisa merasakan hidup sekali lagi dengan satu ginjal yang dia berikan kepadaku. Dokter bilang, Zanu ingin sekali hidup. Jika tidak cepat dilakukan pendonoran jantung, zanu tidak akan terselamatkan, bi."" Jawabnya meneteskan air matanya karena melihatku menangis. Aku hanya menunduk dan menangis.
Chanudra meraih tanganku, ""Sayang, kamu akan baik-baik saja tanpa aku. Aku akan selalu ada di hatimu. Terimakasih, Lubila Lunabil yang cantik sudah jadi sahabat dan cintaiku. Aku yakin Zanu akan menggantikanku."" Kata Chanudra meneteskan airmatanya lagi sambil menghapus air mata di kedua pipiku.
""Zanu dan kamu berbeda. Aku hanya mengenalmu dan aku hanya mencintaimu Chan."" Tangisku.
""Maafkan aku. Tolong, Ikhlaskan aku ya Lubila cantik.” Ucap Chanudra tersenyum lebar dan memelukku. “Menurutmu, lebih menyakitkan sebelum pergi aku memberitahumu dulu atau aku pergi tanpa memberi tahumu?” tanyanya.
“Keduanya sangat menyakitkan bagiku, chan.” Jawabku bersama isak tangisku. “Tapi, aku ga menangis sendirian dan merasakan perih sendirian. Aku bisa memelukmu untuk terakhir kalinya dengan erat,” Kataku tidak kuat menahan tangis. “Apa aku harus merelakan dan benar-benar mengikhlaskanmu pergi untuk selamanya, chan? Aku sangat menyayangimu dan sangat menyakitkan jika kamu pergi.” tanyaku masih dalam tangisan.
“Iya, cantik. Kamu harus bahagia ketika aku pergi. Karena setiap pertemuan akan mengalami perpisahan. Awalnya terluka tapi nanti luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Aku sangat mencintaimu Lubila Lunabil. Jadi, kumohon ya.” Jawab Chanudra menahan sesak dan air matanya mengelus rambutku lembut.
“Ini sangat sulit, Chanudra Rastrayukta. Oke, akan ku lakukan atas cintaku untukmu, chan. Terimakasih banyak, chan untuk segala cinta yang kamu berikan. Terimakasih juga Kamu udah kasih tau sebelum kamu pergi. Benar katamu, kalau kamu pergi tanpa kabar mungkin aku akan lebih terluka.” Kataku sambil menghapus air mataku. Sebenarnya masih sangat sesak di dada dan perih dihati. Tetapi, aku harus bisa menahannya untuk dia.
Chanudra memelukku sangat dalam dan hangat untuk terakhir kalinya. “Terimakasih, bi. Kamu sudah berusaha untuk mengikhlaskan aku pergi untuk selamanya. Berat bagiku meninggalkan cintaku dan cintamu. Tapi, ini sudah keputusan bulatku untuk balas budi kepada saudara kembarku. Karnanya aku bertemu dan mencintaimu.” Kata Chanudra tersenyum lebar dengan sangat manis untuk terakhir kalinya.
-TAMAT-"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.